Langsung ke konten

Langsung ke daftar isi

”Janganlah Khawatir tentang Hari Besok”

”Janganlah Khawatir tentang Hari Besok”

”Janganlah Khawatir tentang Hari Besok”

Debby sudah tak tahan lagi. Suaminya, John, tidak punya pekerjaan tetap selama lebih dari tiga tahun. ”Saya sangat tertekan,” kenang Debby. ”Karena tidak tahu harus bagaimana, saya sangat terpuruk!” John berusaha meredakan keresahan istrinya dengan menjelaskan bahwa kebutuhan mereka selalu terpenuhi. ”Tapi, kamu masih belum kerja!” sahut Debby. ”Kita butuh penghasilan!”

KEHILANGAN pekerjaan tak ayal menimbulkan keresahan. ’Berapa lama saya akan menganggur?’ ada yang bertanya-tanya. ’Bagaimana saya bisa memenuhi kebutuhan keluarga selama belum bekerja?’

Kendati kekhawatiran seperti itu wajar, Yesus Kristus memberikan nasihat realistis yang menenteramkan. Ia menyatakan, ”Janganlah khawatir tentang hari besok . . . Besok ada lagi khawatirnya sendiri.”​—Matius 6:34, Bahasa Indonesia Masa Kini.

Kenali Rasa Takut Anda

Yesus tidak mengatakan bahwa kita harus bertindak seolah problem kita tidak ada. Namun, mengkhawatirkan apa yang mungkin terjadi besok hanya akan menambah beban emosi hari ini. Terus terang, tidak banyak yang dapat kita lakukan atas apa yang bisa terjadi besok, baik atau buruk. Tetapi, kita dapat mengambil tindakan untuk menghadapi situasi saat ini.

Tidakkah ini lebih mudah dikatakan daripada dilakukan? Benar sekali! Rebekah, yang suaminya di-PHK setelah 12 tahun bekerja, berkata, ”Kalau kita sangat gelisah, sulit untuk berpikir logis. Tapi, kami harus. Maka, saya berupaya untuk tetap menguasai diri. Ketika hal-hal yang paling saya takuti ternyata tidak pernah terjadi, saya sadar tak ada gunanya khawatir. Dengan berfokus pada problem hari ini, hilanglah semua stres.”

Pikirkan: ’Apa yang paling saya takuti? Seberapa besar kemungkinannya ketakutan ini menjadi kenyataan? Berapa banyak energi yang terkuras karena mengkhawatirkan apa yang belum tentu terjadi?’

Memupuk Rasa Puas

Sudut pandang kita bisa memengaruhi emosi kita. Karena itu, Alkitab menganjurkan sikap mental ini, ”Dengan mempunyai makanan, pakaian dan penaungan, hendaknya kita puas dengan perkara-perkara ini.” (1 Timotius 6:8) Puas berarti membatasi keinginan kita dan senang saat kebutuhan sehari-hari kita terpenuhi. Berupaya memuaskan hasrat untuk memiliki lebih banyak hal hanya akan melemahkan upaya Anda untuk menyederhanakan hidup.​—Markus 4:19.

Debby sanggup memupuk rasa puas setelah memandang situasinya secara realistis. Ia berkata, ”Kami tidak pernah hidup tanpa listrik atau gas, atau menjadi gelandangan. Problem yang sebenarnya adalah bahwa kami tidak biasa hidup seperti ini, dan keinginan yang tidak realistis untuk mempertahankan standar hidup sebelumnya semakin membuat saya tertekan.”

Debby segera menyadari bahwa sudut pandangnyalah​—bukan keadaannya​—yang membuat segala sesuatu tampak tak tertanggungkan. ”Saya harus menghadapi kenyataan tentang situasi kami dan tidak berkukuh pada apa yang saya inginkan,” katanya. ”Begitu saya mengembangkan rasa puas terhadap apa yang Allah sediakan setiap hari, saya merasa jauh lebih bahagia.”

Pikirkan: ’Sudahkah kebutuhan saya untuk hari ini terpenuhi? Jika ya, dapatkah saya cukup memikirkan hari ini, yakin bahwa kebutuhan saya besok akan terpenuhi juga?’

Memiliki sudut pandang yang benar adalah langkah pertama dalam menghadapi tantangan hidup dengan dana seadanya. * Tetapi, langkah praktis apa saja yang bisa Anda ambil jika penghasilan Anda pas-pasan karena kehilangan pekerjaan?

[Catatan Kaki]

^ par. 14 Untuk informasi lebih lanjut tentang mendapat dan mempertahankan pekerjaan, lihat Sedarlah! 8 Juli 2005, halaman 3-11.

[Kotak di hlm. 5]

Kegigihan Diupahi!

Setelah berminggu-minggu mencari pekerjaan tanpa hasil, Fred merasa bahwa semua pintu kesempatan sudah tertutup. ”Rasanya seperti menunggu bus di halte tapi tidak ada yang datang,” ujarnya. Fred memutuskan untuk mengendalikan apa yang bisa ia kendalikan​—tindakannya sendiri. Ia mengirimkan lamaran kerja ke berbagai perusahaan, termasuk yang mungkin tidak terlalu membutuhkan keahliannya. Ia menindaklanjuti semua tanggapan dan membuat persiapan yang saksama untuk setiap wawancara, yakin bahwa ”rencana orang yang rajin pasti mendatangkan keuntungan”. (Amsal 21:5) Fred mengatakan, ”Di sebuah perusahaan, saya menghadapi dua sesi wawancara yang berat oleh para manajer eksekutif.” Tetapi, kegigihan Fred tidak sia-sia. ”Saya diterima!” katanya.

[Kotak/​Gambar di hlm. 6]

Yang Lebih Penting daripada Penghasilan

Apa yang lebih penting​—kualitas moral Anda atau penghasilan Anda? Perhatikan dua amsal Alkitab.

”Lebih baik orang yang tidak berada, yang berjalan dengan integritasnya, daripada orang yang bengkok jalan-jalannya, walaupun ia kaya.”​Amsal 28:6.

”Lebih baik sepiring sayur dengan kasih daripada lembu yang diberi makan dari palungan disertai kebencian.”​Amsal 15:17.

Jelaslah, orang yang punya integritas dan martabat tidak kehilangan harga diri sewaktu kehilangan pekerjaan. Maka, ketika suaminya di-PHK, Debby berkata kepada anak-anaknya, ”Banyak ayah telah meninggalkan keluarga mereka. Tapi, ayah kalian akan tetap bersama kalian. Kalian tahu ia sangat menyayangi kalian dan telah membantu kalian melewati segala problem. Hebat kan ayah kalian?”